Membangun Budaya Bebas Politik Praktis, Menjadi Manusia Penuh Kasih

Hendaklah engkau mengasihi Allah Tuhanmu dengan se-bulat² hatimu dan dengan segenap djiwamu dan dengan sepenuh akalbudimu, pengetahuan tanpa kasih itu sia² belaka.

Hampir semua universitas di kepulauan ini memiliki lembaga bagi para siswa-siwanya untuk melakukan advokasi, aksi, dan meningkatkan mutu di kalangan mahasiswa maupun kalangan-kalangan lainnya. Akan tetapi, apakah selalu begini kehidupan kampus? Atau lebih tepatnya, apakah harus begini cara anak muda di bangku universitas melalui hari-harinya?

Beberapa dekade lalu, ketua Dewan Mahasiswa UI (Emil Salim) mengutarakan pendapat bahwa mahasiswa itu bisa diibaratkan sebagai tanah liat… mudah dibentuk. HMI (dari Masjumi), GMNI (dari PDI), Gemsos (dari PSI), dan bahkan CGMI (dari PKI) pun di kala itu banyak menebar paham-paham mereka di lingkungan kampus; dengan haluan tersebut, mahasiswa tidak membentuk dirinya menjadi seorang yang dapat mendiskusikan ide-ide, paham-paham, dan doktrin-doktrin secara bebas melainkan lebih memikirkan bagaimana menjadi apparatchik (aparat) partai dan memikirkan cara mendapatkan jabatan yang tinggi menjulang di induk dari sayap partai-partai tersebut.

Umair Haque dalam tulisannya yang berjudul How to Know if Something (or Someone) is Right for You (Bagaimana kita tahu jika sesuatu/seseorang tepat untuk kita) menuliskan pengalamannya sebagai anak dari Virginia – fresh out of high school – yang mengirimkan esai kepada universitas-universitas Ivy League tentang kecemasan teman homoseksualnya akan masa depannya di kala epidemi AIDS. Hasilnya? Tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Ivy League Amerika Serikat (Perkumpulan Perguruan Tinggi papan atas di Amerika Serikat). Akan tetapi suatu hal aneh terjadi, suatu hal yang di kemudian hari berbunga menjadi berkat yang kian menghiasi hari-harinya di tanah asing tersebut. Haque menceritakan bahwa meski ia ditolak di Ivy League Amerika Serikat, ia diterima di Ivy League Kanada, tepatnya di Universitas McGill yang berada di Montreal, Quebec, Kanada. Disana, ia bertemu dengan orang-orang yang tidak terkekang oleh norma-norma sosial yang mendorong manusia untuk menjadi Orang Kuat, tidak terkekang oleh norma-norma yang mendorong manusia untuk menyembunyikan kecemasannya, ketakutannya, dan kelemahannya, norma-norma dunia Anglo… yang sudah dianggap lumrah, biasa di tempatnya ia tumbuh besar. Kontras dengan tempat ia tumbuh dewasa sebagai siswa SMU… di kota baru ini, orang-orang mencintainya apa adanya, membiarkan dia apa adanya, dan menerima dia apa adanya.

Di kota tersebut – yang jika kita terjemahkan secara kasar kedalam bahasa Indonesia menjadi Gunung Kerajaan (Mount Royal) – terjadi pengalaman yang mengguncang dunia Haque yang tumbuh di Virginia, bersekolah di sekolah elit, dan hidup di dalam teror yang konstan sebagai kaum marjinal (Pindah dari Pakistan) sebagai seorang anak yang mungil, rapuh, dan rentan. Setahun di Montreal baginya diisi dengan mencari rekaman-rekaman lawas yang berdebu di toko-toko barang bekas bersama kawan-kawan yang tak memiliki maksud terselubung dan aktivitas-aktivitas lainnya yang tidak memiliki insentif layaknya bersenda gurau di asrama mahasiswa, tak ada maksud terselubung yang membelakangi aktivitas-aktivitas ini dan mereka semua di kota Montreal dideskripsikan oleh Haque sebagai orang-orang yang mencintai satu sama lain sebagai manusia sepenuhnya. Haque memparalelkan pengalamannya di Montreal, dengan saat-saat setelah dia menjadi mahasiswa transfer ke salah satu universitas Ivy League di Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat. Izinkan penulis mengutip satu nama lagi yang menyentuh secara sedikit akan kultur mahasiswa yang lulus dari kebudayaan kampus-kampus yang secara tidak langsung telah disebut oleh Haque. Antonio García Martínez: seorang mahasiswa S3 Fisika U.C. Berkeley yang drop-out dan banting setir menjadi pekerja di Goldman Sachs, bank investasi papan atas di dunia.

“The quant aspect, involving detailed matters of future risk and optionality, almost didn’t matter in the end. One lacrosse-playing Penn graduate would agree on price via phone with another lacrosse-playing Cornell grad, and life would resume its speedy course to another deal.”

Penulis terjemahkan secara kontekstual:

“Aspek kuantitatif analisis – yang melibatkan hal-hal terperinci tentang risiko dan opsionalitas – hampir tidak penting pada akhirnya. Seorang lulusan Ivy League dari University of Pennsylvania akhirnya akan menyetujui harga melalui telepon dengan seorang lulusan Ivy League lainnya dari Cornell University, dan kehidupan akan melanjutkan perjalanannya yang cepat ke kesepakatan lain. Back to reality, get back to work.”

Quant disini dimaksudkan sebagai Quantitative Analyst, seseorang yang ditugaskan untuk membangun model-model keuangan yang “akan” dipakai firma dalam keputusan finansial dan juga melakukan kalkulasi resiko akan keputusan-keputusan finansial firmanya. Kutipan di atas menggambarkan budaya mahasiswa Ivy League yang dalam konteks tersebut dilakukan oleh alumni dari University of Pennsylvania dan alumni dari Cornell University, tarikan penulis dari kalimatnya adalah aspek negosiasinya. Taktik negosiasi menggambarkan norma-norma khas dunia Anglo yang penulis telah sebutkan di atas: sembunyikan kecemasan, sembunyikan ketakutan, dan sembunyikan kelemahan. Membawa alma mater, mereka (para pialang) “memperjuangkan” pride (kebanggaan a la sauvinisme) akan almamaternya dan dengan mati-matian mencoba menjadi lebih tangguh, lebih kuat, lebih jahat, dan lebih pintar dibanding manusia yang lain. Mungkin – di dunia finansial – hal tersebut penting, tetapi perlukah mentalitas tersebut ditanamkan dalam-dalam kepada tanah liat?

Emil Salim – ketua Dewan Mahasiswa UI yang pertama – melobi tokoh-tokoh besar masyarakat Islam dan juga turunan dari mereka, agar mahasiswa tidak terpengaruh oleh organisasi mahasiswa ekstra (ORMEK) selagi masih berada di bangku kuliah, selagi masih menjadi tanah liat. Alasan dari aksi pak Emil kabarnya didasarkan dari ceramah Prof. Slamet Iman Santoso yang merupakan Wakil Presiden UI menjelang Pemilu 1955: “mahasiswa itu harus bisa berpikir jernih, jangan terkontaminasi oleh partai politik selama masih kuliah”. Lobi berhasil, HMI out of campus, GMNI out of campus, Gemsos out of campus, CGMI out of campus. Meski pada pertengahan 1965 beberapa kembali datang, tetapi untuk dekade 1950: hal ini merupakan langkah yang baik kepada arah yang benar.

Jika organisasi-organisasi sayap dari para pelaku politik praktis dapat diusir dari kampus, tak dapatkah kita mengusir mentalitas dunia kerja Anglo yang juga mengkontaminasi, meracuni, dan menghambat pembentukkan dari si tanah liat?

Haque dalam artikel yang sama menulis (penulis terjemahkan secara kontekstual):

Apa yang saya miliki di Montreal yang tidak saya miliki di Philadelphia adalah ini. […] mereka semua dapat melakukan sesuatu, yang merupakan hal terpenting dari semuanya. Saya bisa mengatakan, “Kamu tahu nggak, ini yang saya khawatirkan”, atau “ini yang mengesalkan saya”, atau “ini yang menakutkan saya”, atau “ini yang mencemaskan saya”. Sekarang, tidak satu pun dari hal ini - satu pun - yang bisa terjadi di rumah kecil fraternitas yang bobrok di Philadelphia.

Semua yang bisa terjadi di sana adalah penolakan akan itu, kekhawatiran, kekesalan, ketakutan, dan kecemasan. Yang dilakukan adalah berpura-pura saya lebih tangguh, lebih kuat, dan lebih jahat dari orang di sebelah saya, berpura-pura lebih pintar dari orang di kursi berikutnya, dan semua turut memainkan permainan ini bersama. Semua rasa sakit di antara kita semua, disembunyikan dibelakang topeng, dikubur dalam-dalam, berkembang biak, membusuk, dan mekar secara gelap kedalam tengah malam.

Di satu tempat, saya bisa berbagi rasa sakit saya, bukan menyembunyikannya. Tidak memberikannya kepada orang lain, seperti yang kita lakukan ketika kita menyakiti, kasar dalam pemberiannya. Tetapi di tempat tersebut saya menawarkan rasa sakit saya, yang kemudian diambil, diterima, dengan lemah lembut, dengan tawa, dan kadang dengan ratap tangis ataupun keheningan. Akan tetapi rasa sakit tersebut diterima. Setelahnya, saya dapat bermimpi, menentang, memberontak, memaafkan, meregangkan, melompat, jatuh, dan tumbuh.

Emil Salim memperjuangkan hengkang kakinya sayap-sayap para pemraktek politik agar mahasiswa dapat matang, berpaham, dan terpelajar akan ideologi-ideologi yang bertebaran pada saat itu; menjadi tanah liat yang dibentuk melalui cinta sesama. Antonio García Martínez memperlihatkan konsekuensi dari budaya masyarakat yang mendorong anggota-anggotanya untuk menyembunyikan kecemasannya, ketakutannya, dan kelemahannya, dan sebaliknya menjadi lebih tangguh, lebih kuat, lebih jahat, dan lebih “pintar” dari anggota masyarakat yang lain. Umair Haque mengajarkan bagaimana mengisi waktu di saat muda, membawa common good dari masyarakat ke lingkungan kampus, dan bagaimana membagikan rasa sakitnya kepada sesamanya membentuknya dan orang-orang lain di sekitarnya menjadi individu yang penuh kasih.

Kita tidak bisa maju (look ahead) jika kita kerap menggunakan paradigma-paradigma kuno untuk memecahkan masalah-masalah di zaman modern. Mungkin, mungkin saja jika lingkungan kampus kembali menjadi lingkungan yang penuh kasih, dan dibebaskan dari jajahan kaum-kaum yang melihat sesama sebagai komoditas yang dihitung dengan cost-benefit analysis, kita dapat merasakan kembali marwah kemahasiswaan. Jika di suatu hari nanti kita benar merdeka dari mentalitas neo-kolonial itu: advokasi, aksi, peningkatan mutu, dan kesejahteraan mahasiswa dapat dialami bukan hanya sebagai mahasiswa tetapi dapat dirasakan sebagai manusia.

Kelak suatu hari nanti, keadaban dan kesejahteraan di bangsa ini dapat datang kembali ke pangkuan kita.

Referensi:

  1. Antonío Martínez, G. (2018). Chaos Monkeys: Obscene Fortune and Random Failure in Silicon Valley (Reprint ed.). Harper Paperbacks.
  2. Haque, U. (2017, December 6). How to Know if Something (or Someone) is Right For You. Umair’s Diary. Retrieved August 13, 2022, from https://umairhaque.com/how-to-know-if-something-or-someone-is-right-for-you-9d3bce5b472e
  3. Nazir, A. (2020, October 1). Menelusuri Sejarah Lahirnya Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DMUI). Aswil’s Personal Repository. Retrieved August 13, 2022, from https://aswilblog.wordpress.com/2020/09/30/1251/
  4. Verkuyl, J. (1966). Etika Kristen dan Kebudajaan (2nd ed., Vol. 2 dari 4). BADAN PENERBIT KRISTEN - DJAKARTA.

Discussion and feedback