Beberapa hal istimewa seputar Negeri Belanda

Sampaikanlah salamku pada kawan, wahai Bulan! Bisikkan di telinga mereka, aku tidak melupakan; Sepanjang aku pergi mencari pendidikan, jauh di sana di rantau orang, gelisah menanggung rawan.

Mustikarama - Sampaikanlah Salamku (disesuaikan), 1962


Satu hal yang saya ketahui sejak sebelum bertolak ke Negeri Kincir Angin adalah sistem pendidikannya yang inovatif. Hal ini terlihat dari berbagai jalur pendidikan pra-universitas yang mereka sediakan untuk anak‐anak, remaja, dan orang muda. Selain itu, saya cukup terkejut ketika konsep periode dalam satu semester diperkenalkan, yakni beberapa mata kuliah yang hanya berlangsung selama setengah semester.

Perkuliahan di kelas sungguh berkesan untuk saya. Mahasiswa di sini jauh lebih aktif, sangat berbeda dengan pengalaman saya belajar Fisika selama 6 semester di Indonesia.

Pada perkuliahan yang dahulu itu, kelas‐kelas Fisika yang saya ikuti di Indonesia tidak memberi ruang untuk bertanya secara non-dogmatis kepada profesor atau dosen. Bayangkan, apa dapat Anda benar-benar bertanya bagaimana pendapat profesor Fisika akan kekeliruan Descartes dan falsifikasinya oleh Newton? Jawaban di kelas dibatasi pada jawaban dogmatis, teoretis, dan menjemukan.

Hal ini tidak terjadi di Belanda dan saya mengetahuinya setelah menghadiri kelas “Fisika dan Filsafat”, yang memperlihatkan bahwa kultur akademik di sini sangat mendorong mahasiswa untuk proaktif dan menyandingkan secara paralel apa yang dipelajari di kelas dengan konsep yang mereka pelajari di luar Fisika.

Saya senang belajar di Radboud. Lain itu, budaya masyarakat Eropa membuat saya memilih tempat ini.

Di mana pun saya melihat, halte bus, gerbong kereta, pasar loak, dan masih banyak lagi, selalu ada orang yang membaca buku. Tanpa memandang usia, buku bukanlah sesuatu bisa dipisahkan. Perdebatan ideologi dan keyakinan bukanlah sesuatu yang mereka hindari, melainkan mereka jadikan alat untuk mengasah otak, membuka pikiran seluas‐luasnya. Teringat saya pada seorang kawan yang berkata, “Lawan debat adalah kawan berpikir.”

Di negeri Belanda, perkataan itu menemukan kebenarannya yang hakiki. Dan agar tidak kalah debat, orang Belanda tahu satu cara ampuh: membaca!

Hal kecil ini seringkali saya temui karena saya berlangganan kartu kereta yang memungkinkan bebas bepergian ke mana saja di Belanda pada akhir pekan. Saya memilih menghabiskan waktu di Leiden, Den Haag, dan Amsterdam.

Di Spuistraat, Amsterdam, terdapat tempat duduk‐duduk tepat di tengah kota yang berdekatan dengan 3 toko buku serta kafe yang buka sampai sore. Pagi sampai malam, orang‐orang bermodal beberapa gelas kopi, rokok, dan buku, tak berhenti hilir‐mudik bertandang ke Cafe Luxembourg di dekatnya. Hal yang mencolok sebab kedai yang menyajikan kopi bercitarasa lezat ini seakan menarik tamunya untuk lebih dari sekadar menyesap kopi. Di meja‐meja, mereka bercakap‐cakap dengan lantang, dalam berbagai bahasa.

Ketiga kota tersebut juga memiliki restoran Indonesia—dengan harga selangit—namun tersaji dalam porsi yang terlihat sekali disesuaikan lidah Belanda: potongan daging sate yang lebih besar dan berbagai sajian non-halal Indonesia yang terdaftar di menu. Harganya, tentu saja, tidak terlalu ramah untuk kocek mahasiswa.

Lain Amsterdam lain Leiden. Di kota pelajar tanpa gudeg ini, terdapat sebuah toko buku yang dimiliki dan dikelola seseorang yang bersimpati pada sosialisme, dan buku-buku sosialisme dalam bahasa Belanda, Inggris, Prancis, Jerman, Jepang, Korea, dan banyak lagi, dijual dengan harga yang sangat kiri—kalau tak bisa disebut obral. Buku‐buku lain seperti agama, novel, sejarah, sosiologi, juga fisika, dijual dengan harga bersahabat. Toko buku ini—yang sekilas mengingatkan saya pada toko buku tua di Blok M Jakarta—memungkinkan Anda berbelanja 10 buku, hanya dengan menyumbangkan 2 euro (sekitar 35 ribu rupiah!). Jika bukan di Belanda, dan di toko yang dikelola seseorang dengan keyakinan tak tergoyahkan bahwa sosialisme suatu hari akan terwujud, di mana lagi di seluruh kerak bumi ini, Anda bisa membeli sebuah buku dengan harga setara sepotong gorengan di Jakarta?

Saya menduga, harga buku yang murah dan habitus membaca yang tak pudar dihantam arus besar gawai dan media sosial inilah yang menyebabkan budaya membaca tidak pernah pudar di negeri singa ini. Akses terhadap bahan bacaan tidak pernah terbatas pada uang. Di beberapa jalan dekat perumahan, terdapat lemari-lemari yang bisa digunakan untuk bertukar buku secara tidak langsung.

Pada akhirnya, Belanda mengajarkan saya bahwa pergaulan bebas sejatinya sangat indah, selama kontrol diri dijaga dan kita mengambil tindakan secara rasional. Bergaul secara bebas, bertukar gagasan secara terbuka dan jujur, serta terlibat dalam kerja‐kerja pertukaran budaya membawa saya melihat cakrawala lain—yang mungkin tidak akan pernah saya lihat tanpa mengikuti IISMA.

Tulisan ini dituliskan untuk Tugas Angkatan IISMA 2023. Diarsipkan disini untuk mengundang mereka yang tertarik padanya.

Discussion and feedback